Saya sudah punya 'rumah baru'. Silakan berkunjung ke [ www.kokilistrik.com ]. Terima kasih. ;)
Hal-hal sepele
Hampir setiap orang sudah menyaksikan fenomena banjir, tanah
longsor ataupun kecelakaan dalam berkendara. Atau mungkin ada yang belum pernah
sama sekali? Baiklah, saya sedang tidak membahas tentang apakah kalian pernah
atau belum menyaksikan. Saya ingin membahas sesuatu yang lebih penting dari itu
semua.
Lalu saya ingin bertanya sekali lagi. Apakah kalian pernah
menonton film ‘Final Destination’ dimana ada seorang tokoh yang bisa melihat
kejadian yang belum terjadi dan akan terjadi di alam nyata dalam waktu dekat. Seperti
saat menyaksikan sebuah baut kendur pada mobil, lalu setelah dalam kecepatan
tinggi baut itu lepas, ban mobil lepas tepat menimpa kepala penonton dan
tabrakan beruntun terjadi di arena balap. Sekilas, film tersebut menyajikan
suatu fenomena yang terkesan dibuat-buat atau berlebihan. Tapi, sekali lagi.
Semua kejadian itu berasal dari satu hal kecil yang dianggap ‘sepele’,
kendurnya sebuah baut pada ban mobil. Itu saja.
Lantas apa hubungannya dengan hal-hal sepele? Tentu saja
ada. Ketahuilah bahwa hal-hal besar
berasal dari hal yang kecil begitu pula dengan kerusakan-kerusakan besar
terjadi karena hal-hal kecil yang diremehkan. Ada banyak sekali contoh
dalam kehidupan kita sehari-hari dimana ‘kita’ selalu menyepelekan sesuatu yang
penting. Sampah yang dihasilkan setiap harinya yang harusnya dibuang ke tempat
sampah, dipungut oleh petugas kebersihan lalu diolah dan didaur ulang. Tapi lihatlah
hari ini, betapa banyak orang yang membuang sampah sembarangan, mereka tidak
tahu betapa pentingnya menanamkan pemahaman untuk selalu menjaga kebersihan. Lalu,
ketika hujan melanda, banjir memenuhi jalan kota, sampah bertebaran
dimana-mana, mereka berserapah. Hendak menyalahkan Sang Pencipta. Padahal, hei!
Banjir terjadi karena kita tidak menjaga kebersihan dengan baik. Itu saja.
Begitu juga dengan tanah longsor. Betapa banyak orang-orang
yang menebang pohon seenaknya tanpa memikirkan akibat. Padahal kakek-nenek kita
dahulu selalu mengajarkan cucu-cucunya untuk
menanam pohon, menjaga hutan. Tapi kini, kita ‘terlalu menganggap sepele’
hal-hal yang berharga. Lapisan ozon bumi menipis, suhu bumi meningkat, longsor
terjadi. Itu karena itu menganggap sepele sebuah pohon. Ingatlah bahwa satu pohon yang kau tebang hari ini, maka kau harus
menunggu puluhan tahun untuk melihat tunas baru tumbuh lagi.
Memang benar, kerusakan
di bumi terjadi bukan karena betapa banyaknya penjahat melainkan karena terlalu
banyak orang memilih untuk tidak peduli. Jika masih memilih untuk
menyepelekan hal-hal kecil, meremehkan hal yang seharusnya dijadikan prioritas
utama maka dalam hitungan waktu saja akan ada kerusakan lain yang timbul. Entah
itu dalam skala kecil ataupun besar.
Disamping itu dalam skala yang lebih fatal, kecelakaan
kerja, terluka atau bahkan menelan korban jiwa juga berasal dari hal-hal kecil
yang disepelekan. Seperti kurangnya pemahaman alat, mis-komunikasi, tidak
memeriksa peralatan dengan baik, tidak menuruti prosedur kerja, tidak
menggunakan helm, tali sepatu yang tidak diikat dengan baik. Itu saja. Jika kau paham betapa pentingnya hal-hal
kecil maka kau akan tahu betapa bernilainya hal-hal yang besar. Semoga,
pemahaman yang baik itu datang pada diri kita. Aamiin.
*Ditulis setelah beberapa
kecelakaan kerja terjadi di lapangan.
PUISI: Bukan masa lalu
Sesekali tengoklah ke belakang. Lihatlah betapa panjang
jalan yang sudah kau tempuh hingga saat ini. Tidakkah kau lihat wajah-wajah yang
membayang di masa lalu? Disana, ada wajah ibu, ayah, saudara, sahabat dan
keluarga.
Bila kau merasa lelah saat melangkah maka ingatlah wajah
mereka. Senyum tulus seorang ibu yang mendoakanmu setiap waktu, tepukan pundak dari
seorang ayah yang meneguhkan jiwamu. Tawa seorang sahabat yang bisa menghapuskan
kesedihan sekejap mata. Dan keluarga yang selalu mendukungmu.
Masa lalu tidak selalu buruk. Kadang ia mampu membuatmu
sadar bahwa hidup harus terus melangkah. Tak peduli walau kau harus merangkak
meninggalkan lorong waktu.
Menangislah sepuasnya, lalu segeralah hapus airmata,
tinggalkan duka. Bergegaslah untuk melangkah. Dengan begitu, masa depan sudah
dekat jaraknya.
*Dapur Listrik, 13
April 2013
Pesan yang (tak) tersampaikan
Jika kamu harus bertanya, maka tanyakanlah padaku perihal
kenapa hingga saat ini saya masih bisa tertawa seolah tak pernah ada perpisahan
antara kita. Tanyakanlah perihal kapan terakhir kali saya mengingatmu sebagai
orang yang sangat saya rindukan. Atau kamu bisa menanyakan sesulit apa untuk
melupakan seseorang yang namanya selalu terdengar di sudut telinga. Kamu boleh
menanyakan apa saja tapi jangan tanyakan kenapa saya jatuh hati padamu. Saya
tak punya jawabannya. Atau barangkali kamu sudah tahu jawabannya.
Kalau kamu adalah sebuah pembangkit listrik maka kamulah
yang bisa mengalirkan banyak arus listrik lalu menyalakan jutaan lampu dalam
hati saya. Saya tak akan takut kehilangan cahaya meski matahari telah terbenam,
sebab aliran listrikmu menerangiku dalam gelap.
Kalau kamu adalah buku novel maka saya sudah hafal diluar
kepala. Di halaman berapa kamu sedih, ceria atau tertawa. Paragraf-paragraf hidupmu
sudah kubaca dengan amat teliti. Jejak-jejak kakimu yang timbul kala melangkah
kuikuti perlahan, menyelaraskan dengan irama yang ada. Begitu pula dengan para
tokoh di dalamnya. Mereka hadir menyemarakkan ceritamu, karakternya sudah saya
pahami hingga saya seolah-olah mengenal mereka semua.
Kalau kamu adalah sebuah senja, maka senja merah yang biasa
saya lihat di sudut mata itu bukanlah senja yang paling saya nantikan. Senja yang
paling saya nantikan adalah senja yang dibawahnya berdiri seorang kamu yang
penuh dengan rindu. Lalu wajahmu tersenyum padaku bercampur dengan cahaya
merah, membuat sebuah siluet nan indah.
Kalau kamu adalah sebuah mug maka kamulah yang selalu setia
menampung air kopi yang kuminum setiap hari. Hangatmu mengalir lewat gagang mug
yang kupegang.
Tapi, kamu bukanlah pembangkit listrik juga bukan buku
novel. Kamu juga bukan senja juga bukan mug. Kamu adalah kamu. Ya memang tak
ada hubungannya antara pembangkit listrik, buku novel, senja dan mug. Saya
hanya berandai-andai saja. Tulisan ini pun saya tulis ketika saya tak punya ide
lain untuk menulis selain menulis tentang kamu.
Kemarin siang saat di kantin, saya menghabiskan sepotong
bakpau tanpa sisa. Tiba-tiba saya ingat kamu. Saya masih ingat saja ucapanmu
waktu itu tentang ‘bakpau pedas manis’. Tapi bakpau yang saya makan kemarin
rasanya tidak pedas tidak pula manis. Tapi
saya masih percaya atas ucapanmu itu, mungkin saja nanti kamu bisa membuat
resep masakan bakpau yang rasanya pedas manis.
Kadang saya berpikir, lama sebuah penantian mungkin tak ada
apa-apanya dibanding rindu yang saya tabung setiap harinya. Mungkin saja,
tabungan rindu saya akan bertambah banyak seiring berputarnya waktu lalu
mengantarkan kita pada pertemuan yang tepat. Ketika itu pula tabungan itu akan
kuberikan padamu sebagai hadiah yang indah.
Salahkan jarak dan waktu yang membuat rindu bertambah
syahdu. Mungkin sebenarnya jarak kita sekarang amat dekat. Atau mungkin sudah
teramat sangat dekat. Entah itu hati ataupun waktu. Saya tidak tahu. Maafkan
saya yang hari ini tiba-tiba teringat dengan kamu. Sungguh ini semua diluar
kehendak. Perasaan hati saya sedang dalam masa transisi, seperti arus listrik naik-turun
yang kadang bisa merusak peralatan listrik rumah tangga. Semoga saya kuat
menghadapinya.
Baiklah, itu saja yang hendak saya bicarakan kali ini. Tetaplah
menjadi gadis yang cantik hatinya, elok perangai dan tentu saja baik akhlaknya.
Jika suatu saat nanti kita bertemu (lagi) maka kamu tak akan pernah menemukan
saya yang dulu. Sebab saya sudah mempersiapkan banyak bekal untuk menjemput
pertemuan kita yang disana ada Pak Penghulu.
*Kepada seorang gadis nan jauh disana, yang dulu pernah saling bertatap mata lalu kita berpisah demi kehormatan bersama.
PUISI: Matahati
Rentetan kata-kata meledak saja dari mulutnya. Entah itu
fakta atau sekadar pembelaan atas rasa bersalah. Mata telah buta oleh tembok
kekuasaan. Tangan-tangan besi memukul kebenaran. Memporak-porandakan keadilan.
Rakyat jelata bingung bukan kepalang. Tak bisa bedakan mana
salah, mana benar. Di negeri ini, di tanah ibu pertiwi. Keadilan bak pisau
tumpul bila berhadapan orang-orang besar. Namun bisa menjadi tusukan amat tajam
pada orang-orang kecil. Dimana nurani? Dimana matahati?
Disana mereka berteriak minta keadilan. Disini mereka
menutup telinga rapat-rapat. Menutup mata atas sebuah kenyataan. Disini anak
kecil menangis kelaparan. Disana pesta besar dirayakan. Disini anak kecil
kehabisan susu. Disana mereka asyik mandi susu.Dimana nurani? Dimana matahati?
Kemarin tawa masih menghias wajah kecil. Hari ini kesedihan
menggelayut di ruang mata. Kemarin damai masih berteman baik. Hari ini keadilan
perlahan menjauh. Dimana nurani? Dimana matahati?
Bila esok, lusa kami mati. Kami tak ingin ibu pertiwi
merintih. Kenanglah kami sebagai rakyat yang tanpa pamrih mempertahankan harga
diri dan nurani. Disini, di dada kami, matahati kami tak pernah mati.
*Dapur listrik, 7 April 2013
Ditulis sebagai jawaban atas ketidakadilan hukum di negeri ini.
Ditulis sebagai jawaban atas ketidakadilan hukum di negeri ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)