Tiga hari yang lalu aku sudah pulang ke rumah mengabarkan kepada penghuni rumah sederhana, “Emak anakmu ke Cina lagi”. Emak tersenyum bahagia dan penasaran bertanya “kenapa”? Emak bertanya. “Satu bulan ke Cina ini bukan untuk training lagi seperti dulu tapi Aku sendiri yang diutus kesana ikut Boss sebagai orang kepercayaan nomor satu”. Bangga sekali rasanya.
Masih dingin sekarang, cuaca masih bersalju, sebagian kota Beijing berselimut salju putih. Tapi tenang, pakaian musim dingin waktu itu masih kusimpan dengan baik. Kemarin sore pesawat kami mendarat selamat di bandara China International Airport. Suasananya sudah beda sekali, lampu-lampu hias warna-warni makin gemerlap menghiasi bandara. Orang yang berlalu-lalang berbicara dengan ragam bahasa, hei ada wanita jepang, inggris, ooh yang dari negro juga ada, orang Cina? Jangan ditanya, disini semua orang Cina kawan.
Keesokan harinya, aku dengan si Boss menghadiri rapat umum antar pemegang saham, aku hanya memperhatikan rapat tersebut, aku tak terlalu mengerti apa yang sedang dibicarakan. Hingga hari ini juga aku masih tak mengerti mengapa hanya Aku, orang yang dipercaya oleh si Boss, hingga ke Cina lagi untuk kedua kalinya. Kau tahu, si Boss hanya menyuruhku untuk selalu membawa tas hitam ukuran sedang saat kami kunjungan dinas dan isinya hanya selembar kertas. Selembar kertas yang berisi tulisan Cina dan beberapa gambar sketsa yang hampir mirip dengan garis-garis kusut. Tapi kertas itulah yang si Boss percayakan denganku. Lima hari sudah aku menemani perjalanan di Boss di Beijing. Mulai dari rapat yang seperti obrolan hingga rapat yang penuh ketegangan dan debat.
Di hari ke-enam perjalananku, si Boss melepaskan aku di
Cina, memberikan kesempatan penuh untukku mengunjungi tempat-tempat yang dulu
pernah aku kunjungi. Si Boss tak berniat untuk mengajakku singgah ke rumahnya
di daerah selatan Cina, berbekal sebuah handphone dan kamus, serta kartu
transportasi dan beberapa lembaran ratus yuan, aku dilepas begitu saja. Si Boss
bilang tiga minggu lagi, kita akan pulang ke Indonesia. Alamak, dilepas begitu
saja? Aku hampir tak percaya.
Entah apa yang dipikirkannya, pergi bersama, menemaninya
rapat dan akhirnya aku dilepas saja di tengah kota. Aku mengangguk, mengiyakan.
“Saat ada masalah hubungi aku”, kata si Boss. “Alright Boss, I will not lost in
this small Town” jawabku sambil tertawa kesal! Huh.
Tenang, berbekal lima ratus yuan dan sebuah handphone gsm
yang diberi Boss aku mencoba menghubungi beberapa nomor teman lama, koki Yusuf,
Ustad Abdurrahman dan si gempal, Sunlei. Tak beruntung, ternyata nomor mereka
sudah tidak aktif lagi. Sayang sekali. Aku melangkah kelu, kembali ke hotel.
Aku bingung, sendiri di tengah kota Beijing, berjalan sendirian, memandang
kanan-kiri tak satu pun orang yang kukenali. Andai saja, teman-teman yang lain
diajak si Boss aku tak akan merasa sendirian begini. Dasar si Boss! Apa yang
dia pikirkan?
Langkah aku terhenti saat melihat dua pemuda sudah berdiri
di hadapanku, mereka tersenyum. Hei, sepertinya aku mengenali mereka. Mereka
tersenyum padaku, salah satu dari mereka berkata “Welcome to China again Agus”.
Ya, aku mengenali mereka adalah: Jackie Chan dan Jet Li. Mimpi apa aku semalam?
Didatangi dua aktor laga terhebat se-Asia tenggara. Aku diajak mereka masuk ke
dalam mobil sedan hitam mengkilat. Dari sinilah, mobil itu mengantar kami ke
bandara lagi. Aku tak tahu, mereka akan membawaku kemana, aku ikut saja. Tiket
sudah dibeli rupanya, kami akan ke kota HongKong, kota termegah di negeri Cina.
Hari pertama di kota HongKong, kami mengunjungi “Hongkong
Disneyland”, disanalah aku menyempatkan diri untuk berphoto ria, ah sifat
narsisku keluar lagi. Puas mengunjungi setiap sisi Disneyland, Jackie Chan
mengajakku untukku menikmati makan siang di sebuah restoran Indonesia di kota
HongKong, Jet Li hanya mengangguk mengikuti. Disana ada banyak hidangan
tradisional, setidaknya aku masih bisa menikmati makanan itu. Ada tempe, sayur
lada hitam, kangkung capcay, pindang ikan, rendang. Aku baru tahu kalau si Jet
Li dan Jackie suka makan tempe, aku tertawa renyah. Walau mereka aktor laga yang
penuh dengan gemerlap kemewahan, mereka juga suka makan tempe. Mungkin kau
tidak akan percaya hal ini =D
Keesokan harinya, Jet Li punya ide untuk mengajakku ke
“Victoria Peak”. Sebuah tempat wisata gunung di Hongkong barat daya yang
tingginya 552 meter. Dari puncak Victoria kau bisa melihat seluruh pemandangan
kota dari atas sana, sekali lagi, kami berphoto. Aku tak ingin melewatkan
kesempatan ini untuk mengabadikan dalam photo dan video. Sesekali Jackie dan
Jet Li menghiburku dengan menampilkan beberapa jurus kungfu yang biasa
dimainkan di film-film laga. Menakjubkan.
Aku hampir tak ingat sudah berapa minggu aku di Hongkong,
bersama-sama dengan mereka, jalan-jalan, berphoto ria, saling bertukar tanda
tangan. Beberapa saat kemudian handphoneku berdering, alamak ini telepon dari
si Boss.
Aku baru ingat, hampir tiga minggu lebih tinggal di Hongkong
buat aku lupa akan tugas penting dengan si Boss. Telepon yang berdering itu
tidak kujawab. Aku kemudian berpikir, berharap cemas semoga si Boss tidak
marah. Aku beranikan diri untuk menjawab teleponnya,
“Wei, hallo Boss”.
“Agus, where are you now? How was your day?” sambil tertawa
mengejek. Aku tahu sekali nada bicaranya.
“I’m in Hongkong Boss” jawabku singkat.
“When we go back to Indonesia, I’m more than ready” ucapku
meyakinkan.
“We still have one week in China, I also need more time
gathering in my home, just enjoy your holiday Agus. This is your gift, enjoy
ya!”
“Alright Boss” jawabku lega. Kemudian telepon ditutup.
Wah, si Boss ternyata masih ingin berlama-lama di rumah. Sebetulnya
aku sudah siap, kalau saja si Boss tadi menyuruhku untuk pulang. Berangkat naik
pesawat dari Hongkong ke Beijing tak akan memakan waktu lama. Lagipula Jackie
dan Jet Li sudah memesan tiket jauh-jauh untukku. Mereka baik sekali.
Tak berapa lama, Jackie dan Jet Li mendekatiku dan berkata,
mereka akan ke New York besok siang, untuk syuting film laga terbaru mereka.
Hari ini adalah hari terakhir mereka bertemu denganku. Mereka memelukku erat.
Aku tak sanggup melepas pelukan mereka, tak ingin segera berpisah dari aktor
laga favoritku sepanjang masa. Mereka menyuruh pelayan setia mereka untuk
melayaniku selama di Hongkong selepas mereka pergi. Apapun kepentinganku cukup
katakan saja pada Pelayan itu, maka dia akan memenuhinya. Mulai dari pakaian,
makanan, transportasi dan sebagainya.
Sepeninggal mereka, aku memutuskan untuk meninggalkan kota
Hongkong, kembali ke Beijing. Aku ingin bertemu mereka lagi, koki Yusuf, Ustad
Abdurrahman dan si gempal Sunlei. Tapi dimana mereka? Sesampainya di Beijing,
aku memutuskan untuk berangkat ke daerah selatan Cina. Kali ini aku sengaja
untuk tidak menaiki pesawat, aku ingin mengenang masa-masa tiga tahun dulu.
Saat pertama kali naik kereta listrik.
Kereta itu melaju dengan kencang, membawaku ke kota Xuzhou
tempat hatiku terdamai. Tempat dimana aku pertama kali mengerti akan arti
indahnya kebersamaan, perhatian dan kebahagian akan berbagi. Tapi dimana
mereka? Hatiku masih bertanya. Aku datangi lagi pembangkit listrik terbesar
kota itu, mencari tiap sudut ruang, bertanya pada mereka yang mengenal koki
masak terhebat kami. Barangkali kakiku sudah capek berkeliling dan mencari, aku
duduk di pinggiran kota Xuzhou, meluruskan kaki di deretan toko yang sepi.
“Mengapa Xuzhou tak seperti dulu lagi” aku bertanya pada diriku yang penasaran.
Dimana koki Yusuf? Yang selalu memberikan jabat tangan, pelukan yang hangat dan
salam yang tulus setiap kali bertemu? Dimana ustad Abdurrahman yang selalu
menjadi pencerita bagi kami, penterjemah terbaik kami, dan si gempal Sunlei
yang kocak dan jarang sekali bicara.
Lama memikirkan itu aku tertidur pulas di deretan toko itu.
Entah berapa lamanya, lalu teleponku berdering, kian detik kian keras, aku
mencoba menjangkau telepon itu mencoba mematikan panggilan yang masuk dengan
mata terpejam. Tak peduli apakah itu panggilan dari si Boss atau bukan, aku
lelah, mengantuk sekali.
Tapi, hei kenapa aku sudah di kamar? Aku melepas selimut,
kulihat jam di tangan, jam 7 pagi. Astaga, aku kesiangan lagi. Aku bergegas
berganti pakaian kerja, mengambil helm dan sepatu. Semoga aku tidak telat lagi.
Ternyata perjalanan tadi hanya mimpi. :)
0 comments:
Post a Comment