Pagi tadi saya terbangun tepat pukul 6:30 am lantas mata saya terbelalak karena sadar hampir melewatkan sholat shubuh. Oh tidak, entah berapa kali saya bangun kesiangan seperti ini. Dan pagi pun kumulai dengan menarik selimut lagi. Mata akhirnya tak dapat lagi terpejam pada pukul 10:00. Pada stasiun televisi swasta memberitakan secara langsung berita tentang hari Sumpah Pemuda, kuingat-ingat lagi, ya tepat sekali tanggal 28 Oktober.
84 tahun yang lalu, telah lahir sebuah gagasan besar yang seharusnya telah membentuk kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik saat ini. Saat itu, sebuah pertemuan yang dinamakan Kongres Pemuda II digelar. Peristiwa lahirnya sumpah pemuda ini menjadi titik awal bagi para pemuda Indonesia untuk senasib sepenanggungan sebagai satu bangsa, satu tanah air yang pertama-tama ditandai dengan disepakatinya bahasa universal antar bangsa, bahasa Indonesia.
Berikut bunyi asli naskah Sumpah Pemuda:
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Belajar dari catatan sejarah itulah, harusnya kita para generasi muda Indonesia mengambil waktu sejenak untuk merenungkan hakikat sebenarnya sumpah pemuda. Meski keadaan yang kita alami saat ini amatlah bertolak belakang terhadap sumpah yang diucapkan dahulu. Namun, kita masih punya banyak waktu untuk memperbaikinya.
Kadang, saya tak habis pikir betapa banyak pemuda yang seharusnya menghabiskan banyak waktu di sekolah untuk belajar, malah minggat dari sekolah, melakukan perkelahian antar sekolah, tawuran, mabuk-mabukan dan hal-hal keji yang tak patut dikerjakan. “Duhai, siapa lagi yang akan membangun tanah air ini menjadi negeri yang besar bila para generasi pemudanya seperti ini?”
Lihatlah saat ini, bahasa Indonesia yang harusnya menjadi bahasa pemersatu bangsa seolah hilang ditelan putaran waktu. Bahkan tulisan dan bahasa aneh yang keluar saat ini beraneka ragam? “Ciyus miapah?”, apa itu? bahasa planet mana? Lantas bahasa yang seperti itu seolah menjadi trend di kalangan anak muda sekarang.
Ada lagi yang lebih parah, orang bilang “bahasa alay” namanya. Jadi, gaya tulisannya dicampur adukkan dengan angka. Seperti ini: “CuMp4h p3mO3d4” yang harusnya ditulis menjadi “Sumpah Pemoeda”. Seandainya Bung Karno masih hidup saat ini, mungkin beliau hanya geleng-geleng kepala saja. Tak habis pikir. Oh Tuhan, sampai kapan kita harus seperti ini? Lalu dimanakah semangat satu bangsa itu? Dimanakah semangat satu tanah air itu? Dimanakah semangat satu bahasa yang menjadi bukti nyata tanda persatuan itu?
Pada akhirnya marilah sejenak merenung dan mengingat kembali makna Sumpah Pemuda yang sebenarnya. Semoga dengan makna sumpah pemuda ini kita lebih mencintai tanah air dengan tetap terus berkarya dan meningkatkan rasa nasionalisme yang hampir pudar. Merdeka!
"Makna Sumpah Pemuda"
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment