kita lekat bagai api dan kayu
bersama menyala, saling menghangatkan
Pernah ada waktu-waktu dalam ikatan ini
kita terlalu akrab bagai awan dan hujan
merasa menghias langit, menyuburkan bumi,
dan melukis pelangi namun secara tak sadar, kita saling meniadai
Di satu titik lalu sejenak kita berhenti,
menyadari mungkin hati kita telah terkecualikan dari ikatan di atas iman
bahkan saling nasehatpun tak lain bagai dua lilin
saling mencahayai, tapi masing-masing habis dimakan api
Kubaca cendikiawan Dinasti Ming, Feng Meng Long
menuliskan sebaitnya dalam ‘Yushi Mingyan’;
“Bungapun layu jika berlebih diberi rawatan
willow tumbuh subur meski diabaikan”
Maka kitapun menjaga jarak dan mengikuti nasihat ‘Ali
“Berkunjunglah hanya sekali-sekali, dengan itu cinta bersemi”
Padahal saat itu, kau sedang dalam kesulitan
seperti katamu, kau sedang ingin sendirian
maka seolah aku telah membiarkan
dirimu merasakan kepahitan menderita sendiri, getir dalam sunyi
ataukah memang sejak dulu begitulah aku?
Dan sekarang aku merasa bersalah lagi
seolah hadirku kini cuma untuk menegur
hanya mengajukan keberatan, bahkan menyalahkan
bukan lagi penguatan, bukan lagi uluran tangan
kurasa uluran tanganku yang dulupun
membuat kita hanya berputar-putar di kubangan kesalahan
Kita terdiam menatap senja,
di kotamu dan kotaku dalam rinai gerimis,
senja kelabu berselimut jingga
Hening menyusup, hening yang tak berani bersandar pada apapun
khayalanmu dan khayalanku terbang mengembara
ada yang bersatu, ada yang membeku
Namun aku senang bisa mengatakannya
saat ini jutaan rindu kuungkap dalam kalimat
menjadi paragraph-paragraph tak menentu
Aku rasa, kita tak dapat menafikan batas yang membentang
dimana jarak membingkai waktu
membuat kita sadar bahwa pada akhirnya, dalam hening kita berkata:
Biarlah..biarlah, kita menyelusup setiap serpihan sunyi
dan menikmatinya, tak henti, hingga lelap
tanpa tatap, tanpa ratap.
Salam rindu selalu,
Prajurit Jaga Malam
0 comments:
Post a Comment