Pages

Malam Anugerah Pena Sumsel Gemilang 2012

Berdoalah kepada Tuhan, maka Dia akan mengabulkan”.

Akhirnya Tuhan mengabulkan salah satu permintaanku untuk bertemu dengan penulis idola, Darwis-Tere Liye.  Meski pada awalnya Bang Darwis sudah memberitahukan tentang ketidakpastian akan kehadirannnya karena sakit radang tenggorokan via facebook, saya tetap memutuskan untuk berangkat menuju kota pempek itu. Dengan semua persiapan matang hari itu juga saya berangkat dan berharap bahwa Bang Darwis akan memutuskan untuk menghadiri acara tersebut, Malam Anugerah Pena Sumsel Gemilang 2012 di hotel Aryaduta.


*foto saat pemberian hadiah kepada para pemenang lomba cerpen oleh Benny Arnas.

Keesokan harinya, Bang Darwis memberitahukan perihal kehadiran dalam acara itu. Aku sangat bersemangat sekali, antusias ribuan kali untuk bertemu dengan Penulis idola satu ini. Tibalah saat yang ditunggu, acara dimulai dengan pentas seni “Sumeks engtai” yaitu pertunjukkan drama singkat yang diperankan oleh siswa/siswi tingkat SLTA di Palembang. Mataku melihat sekeliling, mencoba menganalisis wajah-wajah peserta yang hadir, menerka mungkin barangkali itulah Sang Idola, Bang Darwis.
Bola mataku terhenti di sudut sebelah kanan tepat di kursi depan. Seorang pria yang memakai kupluk berwarna coklat, mengenakan kemeja bergaris biru dilapisi sweater berwarna coklat bertuliskan “Bandung”. Aku langsung bisa menerka, “nah itu dia!”

*foto bareng Bang Darwis dan para pemenang lomba cerpen


Sesekali Bang Darwis sering terlihat ke belakang, mungkin karena kondisi fisiknya yang kurang begitu fit. Ia sering meletakkan kepala diatas meja, ditopang dengan kedua tangannya. Aku tahu, dia sangat tidak nyaman dengan kondisi fisiknya malam itu.

Tibalah giliran Bang Darwis itu tampil ke panggung, bersama seorang cerpenis terkenal, Benny Arnas. Kedua penulis tampil ke depan, berbagi motivasi atau sekedar interview layaknya acara Talkshow kebanyakan. Setelah acara itu selesai mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. Bang Darwis yang sedari tadi kuperhatikan entah kemana akhirnya memutuskan pergi ke belakang lagi.
Naluriku berkata inilah saat yang tepat untuk bertatap muka dengannya. Aku pun menyusulnya dari belakang. Dan..taraaa.. seorang Darwis-Tere Liye penulis novel terkenal itu tepat berada satu meter didepanku. Beliau yang duduk sambil kepalanya berada diatas meja itu menatapku kosong. Aku langsung mengulurkan tangan, berjabat tangan.

“Saya Agus, Bang”.

“Darwis”. Dijabatnya tangan saya.

“Abang bener waktu SMP sekolahnya di Lahat?”

“Iya, bener”

“Saya juga sekolah di Lahat, Bang. Saya jauh-jauh dari kota Lahat ke Palembang pengen ketemu Abang”.
Beliau menganggukan kepala sambil tersenyum.

“Kamu sekolahnya dimana?”

“Saya SMPN 2 Lahat, Bang”.

“Oh, saya di Bungamas-nya”

Lantas aku mengeluarkan Kamera poket dari saku.

“Bang, boleh saya minta foto bareng?” Ajakku.

“Oh, maaf tidak. Saya tidak mau foto bareng, kenapa kamu tidak foto bareng sama mbak ini saja”. Ucapnya sambil melirik seorang gadis yang kebetulan duduk di sampingnya.

Aku pun menyeringai kecut. Menarik kembali kamera poket.
“Nah, lain halnya kalo kamu masih anak kecil, saya mau foto bareng”. Dan peserta lain yang kebetulan berada di dekat itu ikut tertawa.

Aku pun tambah menyeringai kecut tiga belas kali. Mengutuk dalam hati.

“Baiklah kalo begitu, terima kasih Bang. Cepat sembuh”.

Beliau mengangguk lagi.

Aku langsung balik kanan dan meninggalkan tempat Bang Darwis duduk. Sambil mengepal tangan, seolah tak percaya akan hal yang barusan kualami dan kembali ke tempat duduk.

“Sudah dapat foto barengnya?” Danu bertanya.
Aku mendengus sebal lantas menceritakan hal tersebut pada Danu. Danu yang ikut kuajak dalam acara itu hanya tertawa geli mendengar ceritaku. “Ah, sudahlah lupakan saja”. Pikirku.

Setidaknya, Tuhan telah mengabulkan doaku untuk bertemu dengan Beliau. Terima kasih Ya Allah swt. Lantas apa selanjutnya? Sebetulnya acara tersebut belum selesai kami langsung pulang keluar mengingat waktu sudah cukup larut.

Dengan ditolaknya ajakanku untuk foto bareng, mungkin secara tak langsung Bang Darwis mengajarkan padaku untuk tidak terlalu mengidolakan seseorang. Seorang Darwis pun juga tak ingin terlalu dielu-elukan oleh para penggemarnya yang hanya akan membuat beliau menjadi keras kepala. Itulah yang sering dituliskannya pada halamannya http://www.facebook.com/darwistereliye .

Seorang Darwis-Tere Liye, yang lahir di kota Kikim Timur 33 tahun lalu yang telah membuat pikiranku terbuka lewat sebuah novel yang ditulisnya, berjudul “Kau, Aku dan sepucuk angpau merah” itu akhirnya menjawab impianku untuk sekedar berbincang singkat dan berjabat tangan. Terima kasih Bang Darwis, semoga selalu dianugerahi kesehatan untuk terus menulis,yang selalu mengajak pada kebaikan. Terima kasih.

Meski tak bisa foto bareng, saya sudah cukup senang. Ya barangkali, dilain kesempatan kita bisa ngobrol lebih lama lagi. Terkadang tidak setiap momen harus diabadikan lewat foto. Ada momen tertentu yang lebih indah untuk diabadikan lewat kenangan saja. Aku dan Danu bergerak meninggalkan gedung hotel Aryaduta kembali menelusuri jalanan kota Palembang yang warna-warni karena cahaya lampu jalan.


Palembang, 29 Desember 2012.

0 comments:

Post a Comment