Pages

Hal-hal sepele

Hampir setiap orang sudah menyaksikan fenomena banjir, tanah longsor ataupun kecelakaan dalam berkendara. Atau mungkin ada yang belum pernah sama sekali? Baiklah, saya sedang tidak membahas tentang apakah kalian pernah atau belum menyaksikan. Saya ingin membahas sesuatu yang lebih penting dari itu semua.

Lalu saya ingin bertanya sekali lagi. Apakah kalian pernah menonton film ‘Final Destination’ dimana ada seorang tokoh yang bisa melihat kejadian yang belum terjadi dan akan terjadi di alam nyata dalam waktu dekat. Seperti saat menyaksikan sebuah baut kendur pada mobil, lalu setelah dalam kecepatan tinggi baut itu lepas, ban mobil lepas tepat menimpa kepala penonton dan tabrakan beruntun terjadi di arena balap. Sekilas, film tersebut menyajikan suatu fenomena yang terkesan dibuat-buat atau berlebihan. Tapi, sekali lagi. Semua kejadian itu berasal dari satu hal kecil yang dianggap ‘sepele’, kendurnya sebuah baut pada ban mobil. Itu saja.

Lantas apa hubungannya dengan hal-hal sepele? Tentu saja ada. Ketahuilah bahwa hal-hal besar berasal dari hal yang kecil begitu pula dengan kerusakan-kerusakan besar terjadi karena hal-hal kecil yang diremehkan. Ada banyak sekali contoh dalam kehidupan kita sehari-hari dimana ‘kita’ selalu menyepelekan sesuatu yang penting. Sampah yang dihasilkan setiap harinya yang harusnya dibuang ke tempat sampah, dipungut oleh petugas kebersihan lalu diolah dan didaur ulang. Tapi lihatlah hari ini, betapa banyak orang yang membuang sampah sembarangan, mereka tidak tahu betapa pentingnya menanamkan pemahaman untuk selalu menjaga kebersihan. Lalu, ketika hujan melanda, banjir memenuhi jalan kota, sampah bertebaran dimana-mana, mereka berserapah. Hendak menyalahkan Sang Pencipta. Padahal, hei! Banjir terjadi karena kita tidak menjaga kebersihan dengan baik. Itu saja.

Begitu juga dengan tanah longsor. Betapa banyak orang-orang yang menebang pohon seenaknya tanpa memikirkan akibat. Padahal kakek-nenek kita dahulu selalu  mengajarkan cucu-cucunya untuk menanam pohon, menjaga hutan. Tapi kini, kita ‘terlalu menganggap sepele’ hal-hal yang berharga. Lapisan ozon bumi menipis, suhu bumi meningkat, longsor terjadi. Itu karena itu menganggap sepele sebuah pohon. Ingatlah bahwa satu pohon yang kau tebang hari ini, maka kau harus menunggu puluhan tahun untuk melihat tunas baru tumbuh lagi.

Memang benar, kerusakan di bumi terjadi bukan karena betapa banyaknya penjahat melainkan karena terlalu banyak orang memilih untuk tidak peduli. Jika masih memilih untuk menyepelekan hal-hal kecil, meremehkan hal yang seharusnya dijadikan prioritas utama maka dalam hitungan waktu saja akan ada kerusakan lain yang timbul. Entah itu dalam skala kecil ataupun besar.

Disamping itu dalam skala yang lebih fatal, kecelakaan kerja, terluka atau bahkan menelan korban jiwa juga berasal dari hal-hal kecil yang disepelekan. Seperti kurangnya pemahaman alat, mis-komunikasi, tidak memeriksa peralatan dengan baik, tidak menuruti prosedur kerja, tidak menggunakan helm, tali sepatu yang tidak diikat dengan baik. Itu saja. Jika kau paham betapa pentingnya hal-hal kecil maka kau akan tahu betapa bernilainya hal-hal yang besar. Semoga, pemahaman yang baik itu datang pada diri kita. Aamiin.

*Ditulis setelah beberapa kecelakaan kerja terjadi di lapangan.

PUISI: Bukan masa lalu

Sesekali tengoklah ke belakang. Lihatlah betapa panjang jalan yang sudah kau tempuh hingga saat ini. Tidakkah kau lihat wajah-wajah yang membayang di masa lalu? Disana, ada wajah ibu, ayah, saudara, sahabat dan keluarga.

Bila kau merasa lelah saat melangkah maka ingatlah wajah mereka. Senyum tulus seorang ibu yang mendoakanmu setiap waktu, tepukan pundak dari seorang ayah yang meneguhkan jiwamu. Tawa seorang sahabat yang bisa menghapuskan kesedihan sekejap mata. Dan keluarga yang selalu mendukungmu.

Masa lalu tidak selalu buruk. Kadang ia mampu membuatmu sadar bahwa hidup harus terus melangkah. Tak peduli walau kau harus merangkak meninggalkan lorong waktu.

Menangislah sepuasnya, lalu segeralah hapus airmata, tinggalkan duka. Bergegaslah untuk melangkah. Dengan begitu, masa depan sudah dekat jaraknya.

*Dapur Listrik, 13 April 2013

Pesan yang (tak) tersampaikan

Jika kamu harus bertanya, maka tanyakanlah padaku perihal kenapa hingga saat ini saya masih bisa tertawa seolah tak pernah ada perpisahan antara kita. Tanyakanlah perihal kapan terakhir kali saya mengingatmu sebagai orang yang sangat saya rindukan. Atau kamu bisa menanyakan sesulit apa untuk melupakan seseorang yang namanya selalu terdengar di sudut telinga. Kamu boleh menanyakan apa saja tapi jangan tanyakan kenapa saya jatuh hati padamu. Saya tak punya jawabannya. Atau barangkali kamu sudah tahu jawabannya.

Kalau kamu adalah sebuah pembangkit listrik maka kamulah yang bisa mengalirkan banyak arus listrik lalu menyalakan jutaan lampu dalam hati saya. Saya tak akan takut kehilangan cahaya meski matahari telah terbenam, sebab aliran listrikmu menerangiku dalam gelap.

Kalau kamu adalah buku novel maka saya sudah hafal diluar kepala. Di halaman berapa kamu sedih, ceria atau tertawa. Paragraf-paragraf hidupmu sudah kubaca dengan amat teliti. Jejak-jejak kakimu yang timbul kala melangkah kuikuti perlahan, menyelaraskan dengan irama yang ada. Begitu pula dengan para tokoh di dalamnya. Mereka hadir menyemarakkan ceritamu, karakternya sudah saya pahami hingga saya seolah-olah mengenal mereka semua.

Kalau kamu adalah sebuah senja, maka senja merah yang biasa saya lihat di sudut mata itu bukanlah senja yang paling saya nantikan. Senja yang paling saya nantikan adalah senja yang dibawahnya berdiri seorang kamu yang penuh dengan rindu. Lalu wajahmu tersenyum padaku bercampur dengan cahaya merah, membuat sebuah siluet nan indah.

Kalau kamu adalah sebuah mug maka kamulah yang selalu setia menampung air kopi yang kuminum setiap hari. Hangatmu mengalir lewat gagang mug yang kupegang.

Tapi, kamu bukanlah pembangkit listrik juga bukan buku novel. Kamu juga bukan senja juga bukan mug. Kamu adalah kamu. Ya memang tak ada hubungannya antara pembangkit listrik, buku novel, senja dan mug. Saya hanya berandai-andai saja. Tulisan ini pun saya tulis ketika saya tak punya ide lain untuk menulis selain menulis tentang kamu.

Kemarin siang saat di kantin, saya menghabiskan sepotong bakpau tanpa sisa. Tiba-tiba saya ingat kamu. Saya masih ingat saja ucapanmu waktu itu tentang ‘bakpau pedas manis’. Tapi bakpau yang saya makan kemarin rasanya  tidak pedas tidak pula manis. Tapi saya masih percaya atas ucapanmu itu, mungkin saja nanti kamu bisa membuat resep masakan bakpau yang rasanya pedas manis.

Kadang saya berpikir, lama sebuah penantian mungkin tak ada apa-apanya dibanding rindu yang saya tabung setiap harinya. Mungkin saja, tabungan rindu saya akan bertambah banyak seiring berputarnya waktu lalu mengantarkan kita pada pertemuan yang tepat. Ketika itu pula tabungan itu akan kuberikan padamu sebagai hadiah yang indah.

Salahkan jarak dan waktu yang membuat rindu bertambah syahdu. Mungkin sebenarnya jarak kita sekarang amat dekat. Atau mungkin sudah teramat sangat dekat. Entah itu hati ataupun waktu. Saya tidak tahu. Maafkan saya yang hari ini tiba-tiba teringat dengan kamu. Sungguh ini semua diluar kehendak. Perasaan hati saya sedang dalam masa transisi, seperti arus listrik naik-turun yang kadang bisa merusak peralatan listrik rumah tangga. Semoga saya kuat menghadapinya.

Baiklah, itu saja yang hendak saya bicarakan kali ini. Tetaplah menjadi gadis yang cantik hatinya, elok perangai dan tentu saja baik akhlaknya. Jika suatu saat nanti kita bertemu (lagi) maka kamu tak akan pernah menemukan saya yang dulu. Sebab saya sudah mempersiapkan banyak bekal untuk menjemput pertemuan kita yang disana ada Pak Penghulu.

*Kepada seorang gadis nan jauh disana,  yang dulu pernah saling bertatap mata lalu kita berpisah demi kehormatan bersama.

PUISI: Matahati

Rentetan kata-kata meledak saja dari mulutnya. Entah itu fakta atau sekadar pembelaan atas rasa bersalah. Mata telah buta oleh tembok kekuasaan. Tangan-tangan besi memukul kebenaran. Memporak-porandakan keadilan.

Rakyat jelata bingung bukan kepalang. Tak bisa bedakan mana salah, mana benar. Di negeri ini, di tanah ibu pertiwi. Keadilan bak pisau tumpul bila berhadapan orang-orang besar. Namun bisa menjadi tusukan amat tajam pada orang-orang kecil. Dimana nurani? Dimana matahati?

Disana mereka berteriak minta keadilan. Disini mereka menutup telinga rapat-rapat. Menutup mata atas sebuah kenyataan. Disini anak kecil menangis kelaparan. Disana pesta besar dirayakan. Disini anak kecil kehabisan susu. Disana mereka asyik mandi susu.Dimana nurani? Dimana matahati?

Kemarin tawa masih menghias wajah kecil. Hari ini kesedihan menggelayut di ruang mata. Kemarin damai masih berteman baik. Hari ini keadilan perlahan menjauh. Dimana nurani? Dimana matahati?

Bila esok, lusa kami mati. Kami tak ingin ibu pertiwi merintih. Kenanglah kami sebagai rakyat yang tanpa pamrih mempertahankan harga diri dan nurani. Disini, di dada kami, matahati kami tak pernah mati.

*Dapur listrik, 7 April 2013
Ditulis sebagai jawaban atas ketidakadilan hukum di negeri ini.

Bercengkrama dengan senja

Disini aku duduk menatap cakrawala, memandangi cahaya senja merah yang sebentar lagi hilang. Cukup untuk membuat akhir pekan ini menjadi sempurna. Bagi sebagian orang, senja adalah hal klise. Mereka berlomba memburu senja, menangkap, tergesa-gesa mengabadikannya lewat kamera. Tanpa tahu benar apa itu senja yang sebenarnya. Mereka lupa bahwa senja tak bisa diabadikan lewat mata kamera.

Perubahan warna pada langit sore yang terbias di langit semesta mengajarkan kita bahwa proses perubahan dalam hidup bisa dibuat begitu mempesona. Seperti senja yang indah tanpa jeda. Seorang penikmat senja tak pernah merasa sendirian. Ia bertemankan banyak warna, ada merah, biru dan jingga. Dibalik warna-warna menyimpan banyak cerita, momen berharga, perpisahan, pertemuan atau rasa bahagia. Entahlah, apakah senja merasa bosan mendengarkan banyak cerita yang datang setiap harinya?

Menikmati senja sama saja dengan membuka kenangan lama, sebab senja selalu datang setiap harinya meski dengan warna berbeda. Ia menyapa siapa saja yang memandangnya. Senja yang datang dengan warna merah itu bukanlah senja yang paling aku nantikan. Senja yang paling aku nantikan adalah senja yang dimana dibawahnya berdirinya kamu, yang penuh dengan rindu.

Belajar menyetir

Tak ingin rasanya melewatkan hari-hari begitu saja, berlalu tanpa cerita tanpa makna. Menghabiskan 1/3 waktu setiap hari untuk bekerja rasa-rasanya membuat tenaga dan pikiran terkuras tanpa sisa. Maka dari itu mulai minggu ini saya memutuskan untuk mempelajari hal baru, menyetir!

Dua hari yang lalu ketika libur shift kebetulan saya tidak memutuskan untuk pulang ke rumah sebab cuaca yang tak bersahabat. Jadi, saya meminta bantuan teman saya, Irfan. Dia berbaik hati meluangkan waktu untuk mengajari saya menyetir mobil. Mewah sekali rasanya kala pertama kali duduk di bangku setir, memegang kendali, mengganti gigi dengan tangan kiri. Mungkin hal ini agak berlebihan bagi kalian, harap maklum saja ini adalah pertama kalinya dalam hidup saya! :D

Menyalakan mesin, menginjak kopling, memasukkan gigi, melepas rem tangan lalu perlahan mengulur kopling sembari menekan gas dengan seimbang. Sementara mata menatap ke depan, memperhatikan laju mobil untuk lurus, mengatur laju mobil dengan seimbang. Ketika menemui jalan yang menikung maka saya harus lebih cekatan untuk memutar setir dengan seimbang, menyelaraskan putaran, kecepatan dan sedikit feeling. Was-was dan deg-degan itu pasti ada, tapi saya tetap memberanikan diri untuk menyetir.

Pada beberapa kondisi kadang saya belum paham benar untuk mengatur kopling dan rem. Belum terbiasa mungkin itu jawabannya. Harus giat berlatih lagi. Pekan ini saya masih fokus untuk latihan maju-mundur, pergantian kopling, rem dan setir. Itu saja, nanti bila sudah terbiasa mungkin akan dilanjutkan dengan materi lain.

Saya belum punya mobil tapi itu bukan berarti saya tidak punya kesempatan untuk belajar menyetir. Itulah untungnya punya banyak teman yang sudah punya mobil, ketika ada waktu luang mereka dengan berbaik hati mengajari saya.

Mempelajari hal yang baru selalu menyenangkan! :)

Ketika hati berkata

Nafsu berkata kecantikan hanya ada pada paras yang indah dan elok dipandang mata. Akal berkata bahwa kecantikan berada pada tingginya ilmu, luasnya pikiran. Namun hati berkata kecantikan itu ada pada kebaikan akhlak dan luhurnya budi.

Jika hendak memilih maka dengarlah kata hati sebab kebaikan akhlak, luhurnya budi, tutur bicara yang santun adalah cermin kecantikan yang paling mulia. Dan semoga kecantikan yang ada pada wajahmu juga diiringi dengan kecantikan hati.
Jaga hatimu baik-baik ya. :)