Pages

PUISI: Wajah senja

Apakah kau yang mengintipku dari ujung sana?
Memandangku dengan malu-malu
Kau selalu begitu, tak pernah berubah
Menyembunyikan senyum malu pada jarak yang ada
Aku masih duduk manis di bangku panjang rumah
Meneguk secangkir teh hangat yang sebentar lagi tinggal ampasnya
Senja berbisik manja pada langit merah
Sambil merayu dan bercumbu di ujung kaki hari yang merona
Merangkai hari penuh warna
Ada biru, ungu, kuning, merah dan jingga
Mana yang kau suka?
Aku tak memperdulikan obrolan mereka
Teh hangatku sudah tinggal ampasny
 Aku kehabisan kata untuk melukiskan indahnya senja
Kupandangi saja dan aku bahagia.

CERPEN: Aku ke Cina (lagi)

Semua barang sudah dipersiapkan, tersusun rapi dalam koper hitam. Aku putuskan untuk tidak membawa banyak barang kali ini. Hanya satu bulan saja. Pergi ke Cina lagi!? Waaah, berita yang mengejutkan sekaligus membahagiakan.

Tiga hari yang lalu aku sudah pulang ke rumah mengabarkan kepada penghuni rumah sederhana, “Emak anakmu ke Cina lagi”. Emak tersenyum bahagia dan penasaran bertanya “kenapa”? Emak bertanya. “Satu bulan ke Cina ini bukan untuk training lagi seperti dulu tapi Aku sendiri yang diutus kesana ikut Boss sebagai orang kepercayaan nomor satu”. Bangga sekali rasanya.

Masih dingin sekarang, cuaca masih bersalju, sebagian kota Beijing berselimut salju putih. Tapi tenang, pakaian musim dingin waktu itu masih kusimpan dengan baik. Kemarin sore pesawat kami mendarat selamat di bandara China International Airport. Suasananya sudah beda sekali, lampu-lampu hias warna-warni makin gemerlap menghiasi bandara. Orang yang berlalu-lalang berbicara dengan ragam bahasa, hei ada wanita jepang, inggris, ooh yang dari negro juga ada, orang Cina? Jangan ditanya, disini semua orang Cina kawan.

Keesokan harinya, aku dengan si Boss menghadiri rapat umum antar pemegang saham, aku hanya memperhatikan rapat tersebut, aku tak terlalu mengerti apa yang sedang dibicarakan. Hingga hari ini juga aku masih tak mengerti mengapa hanya Aku, orang yang dipercaya oleh si Boss, hingga ke Cina lagi untuk kedua kalinya. Kau tahu, si Boss hanya menyuruhku untuk selalu membawa tas hitam ukuran sedang saat kami kunjungan dinas dan isinya hanya selembar kertas. Selembar kertas yang berisi tulisan Cina dan beberapa gambar sketsa yang hampir mirip dengan garis-garis kusut. Tapi kertas itulah yang si Boss percayakan denganku. Lima hari sudah aku menemani perjalanan di Boss di Beijing. Mulai dari rapat yang seperti obrolan hingga rapat yang penuh ketegangan dan debat.


Di hari ke-enam perjalananku, si Boss melepaskan aku di Cina, memberikan kesempatan penuh untukku mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah aku kunjungi. Si Boss tak berniat untuk mengajakku singgah ke rumahnya di daerah selatan Cina, berbekal sebuah handphone dan kamus, serta kartu transportasi dan beberapa lembaran ratus yuan, aku dilepas begitu saja. Si Boss bilang tiga minggu lagi, kita akan pulang ke Indonesia. Alamak, dilepas begitu saja? Aku hampir tak percaya.

Entah apa yang dipikirkannya, pergi bersama, menemaninya rapat dan akhirnya aku dilepas saja di tengah kota. Aku mengangguk, mengiyakan. “Saat ada masalah hubungi aku”, kata si Boss. “Alright Boss, I will not lost in this small Town” jawabku sambil tertawa kesal! Huh.
Tenang, berbekal lima ratus yuan dan sebuah handphone gsm yang diberi Boss aku mencoba menghubungi beberapa nomor teman lama, koki Yusuf, Ustad Abdurrahman dan si gempal, Sunlei. Tak beruntung, ternyata nomor mereka sudah tidak aktif lagi. Sayang sekali. Aku melangkah kelu, kembali ke hotel. Aku bingung, sendiri di tengah kota Beijing, berjalan sendirian, memandang kanan-kiri tak satu pun orang yang kukenali. Andai saja, teman-teman yang lain diajak si Boss aku tak akan merasa sendirian begini. Dasar si Boss! Apa yang dia pikirkan?
Langkah aku terhenti saat melihat dua pemuda sudah berdiri di hadapanku, mereka tersenyum. Hei, sepertinya aku mengenali mereka. Mereka tersenyum padaku, salah satu dari mereka berkata “Welcome to China again Agus”. Ya, aku mengenali mereka adalah: Jackie Chan dan Jet Li. Mimpi apa aku semalam? Didatangi dua aktor laga terhebat se-Asia tenggara. Aku diajak mereka masuk ke dalam mobil sedan hitam mengkilat. Dari sinilah, mobil itu mengantar kami ke bandara lagi. Aku tak tahu, mereka akan membawaku kemana, aku ikut saja. Tiket sudah dibeli rupanya, kami akan ke kota HongKong, kota termegah di negeri Cina.
Hari pertama di kota HongKong, kami mengunjungi “Hongkong Disneyland”, disanalah aku menyempatkan diri untuk berphoto ria, ah sifat narsisku keluar lagi. Puas mengunjungi setiap sisi Disneyland, Jackie Chan mengajakku untukku menikmati makan siang di sebuah restoran Indonesia di kota HongKong, Jet Li hanya mengangguk mengikuti. Disana ada banyak hidangan tradisional, setidaknya aku masih bisa menikmati makanan itu. Ada tempe, sayur lada hitam, kangkung capcay, pindang ikan, rendang. Aku baru tahu kalau si Jet Li dan Jackie suka makan tempe, aku tertawa renyah. Walau mereka aktor laga yang penuh dengan gemerlap kemewahan, mereka juga suka makan tempe. Mungkin kau tidak akan percaya hal ini =D
Keesokan harinya, Jet Li punya ide untuk mengajakku ke “Victoria Peak”. Sebuah tempat wisata gunung di Hongkong barat daya yang tingginya 552 meter. Dari puncak Victoria kau bisa melihat seluruh pemandangan kota dari atas sana, sekali lagi, kami berphoto. Aku tak ingin melewatkan kesempatan ini untuk mengabadikan dalam photo dan video. Sesekali Jackie dan Jet Li menghiburku dengan menampilkan beberapa jurus kungfu yang biasa dimainkan di film-film laga. Menakjubkan.
Aku hampir tak ingat sudah berapa minggu aku di Hongkong, bersama-sama dengan mereka, jalan-jalan, berphoto ria, saling bertukar tanda tangan. Beberapa saat kemudian handphoneku berdering, alamak ini telepon dari si Boss.
Aku baru ingat, hampir tiga minggu lebih tinggal di Hongkong buat aku lupa akan tugas penting dengan si Boss. Telepon yang berdering itu tidak kujawab. Aku kemudian berpikir, berharap cemas semoga si Boss tidak marah. Aku beranikan diri untuk menjawab teleponnya,
“Wei, hallo Boss”.
“Agus, where are you now? How was your day?” sambil tertawa mengejek. Aku tahu sekali nada bicaranya.
“I’m in Hongkong Boss” jawabku singkat.
“When we go back to Indonesia, I’m more than ready” ucapku meyakinkan.
“We still have one week in China, I also need more time gathering in my home, just enjoy your holiday Agus. This is your gift, enjoy ya!”
“Alright Boss” jawabku lega. Kemudian telepon ditutup.
Wah, si Boss ternyata masih ingin berlama-lama di rumah. Sebetulnya aku sudah siap, kalau saja si Boss tadi menyuruhku untuk pulang. Berangkat naik pesawat dari Hongkong ke Beijing tak akan memakan waktu lama. Lagipula Jackie dan Jet Li sudah memesan tiket jauh-jauh untukku. Mereka baik sekali.
Tak berapa lama, Jackie dan Jet Li mendekatiku dan berkata, mereka akan ke New York besok siang, untuk syuting film laga terbaru mereka. Hari ini adalah hari terakhir mereka bertemu denganku. Mereka memelukku erat. Aku tak sanggup melepas pelukan mereka, tak ingin segera berpisah dari aktor laga favoritku sepanjang masa. Mereka menyuruh pelayan setia mereka untuk melayaniku selama di Hongkong selepas mereka pergi. Apapun kepentinganku cukup katakan saja pada Pelayan itu, maka dia akan memenuhinya. Mulai dari pakaian, makanan, transportasi dan sebagainya.

Sepeninggal mereka, aku memutuskan untuk meninggalkan kota Hongkong, kembali ke Beijing. Aku ingin bertemu mereka lagi, koki Yusuf, Ustad Abdurrahman dan si gempal Sunlei. Tapi dimana mereka? Sesampainya di Beijing, aku memutuskan untuk berangkat ke daerah selatan Cina. Kali ini aku sengaja untuk tidak menaiki pesawat, aku ingin mengenang masa-masa tiga tahun dulu. Saat pertama kali naik kereta listrik.
Kereta itu melaju dengan kencang, membawaku ke kota Xuzhou tempat hatiku terdamai. Tempat dimana aku pertama kali mengerti akan arti indahnya kebersamaan, perhatian dan kebahagian akan berbagi. Tapi dimana mereka? Hatiku masih bertanya. Aku datangi lagi pembangkit listrik terbesar kota itu, mencari tiap sudut ruang, bertanya pada mereka yang mengenal koki masak terhebat kami. Barangkali kakiku sudah capek berkeliling dan mencari, aku duduk di pinggiran kota Xuzhou, meluruskan kaki di deretan toko yang sepi. “Mengapa Xuzhou tak seperti dulu lagi” aku bertanya pada diriku yang penasaran. Dimana koki Yusuf? Yang selalu memberikan jabat tangan, pelukan yang hangat dan salam yang tulus setiap kali bertemu? Dimana ustad Abdurrahman yang selalu menjadi pencerita bagi kami, penterjemah terbaik kami, dan si gempal Sunlei yang kocak dan jarang sekali bicara.

Lama memikirkan itu aku tertidur pulas di deretan toko itu. Entah berapa lamanya, lalu teleponku berdering, kian detik kian keras, aku mencoba menjangkau telepon itu mencoba mematikan panggilan yang masuk dengan mata terpejam. Tak peduli apakah itu panggilan dari si Boss atau bukan, aku lelah, mengantuk sekali.
Tapi, hei kenapa aku sudah di kamar? Aku melepas selimut, kulihat jam di tangan, jam 7 pagi. Astaga, aku kesiangan lagi. Aku bergegas berganti pakaian kerja, mengambil helm dan sepatu. Semoga aku tidak telat lagi. Ternyata perjalanan tadi hanya mimpi. :)

“Bintang kedelapan”

Mataku menatap awan malam, beberapa bintang mulai bermunculan sejak senja meninggalkan. Masih di tempat yang sama, seratus dua puluh enam kilometer dari rumah, dua meter diatas tanah, ya tepatnya di balkon asrama.

“Kapan terakhir kali kau menatap bintang?”


Menikmati kerlap-kerlipnya yang berkilau. Aku sudah lupa kawan. Walau terkadang aku bekerja saat malam, itu bukan berarti aku bisa menikmati bintang senyaman ini. Lama kuperhatikan, ternyata mereka memiliki gugusan tersendiri. Ada satu bintang yang menarik perhatian, ukurannya lebih besar, kerlipan yang menawan. Apa itu bintang kejora? Yang sering disebutkan orang? Aku hanya mendengar, wujudnya seperti apa aku tak tahu.


Coba hitung berapa banyak bintang yang hadir malam ini. “Mari kita mulai menghitung, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas,..hei ada tiga lagi yang muncul di utara, dua belas, tiga belas, empat belas”..”wah bintang yang hadir malam ini ramai sekali teman”..”lima belas, enam belas, tujuh belas, delapan belas, sembilan belas, dua puluh, dua puluh satu, dua puluh dua”. Sudah cukup, cukup, jari-jariku tak mampu menghitung mereka, mataku juga bingung membedakan mana bintang yang sudah dihitung dan yang belum. 


“Kau tak ingin melihatnya?” Bagiku fenomena alam yang sering terjadi dialam jagad raya selalu berhasil menarik perhatian, seperti; hujan, pelangi, sinar mentari, awan biru, senja merah, langit malam, bulan setengah dan bintang berkelipan.


Ah, ingin rasanya aku terbang ke angkasa malam ini, mengambil beberapa gugusan bintang dan meletakkannya di dalam kamar, lalu terjun bebas dari atas angkasa ke permukaan bumi bertemankan desiran angin malam yang bertiup kencang. Aku terbang, melambung tinggi, menghilang dalam kegelapan lalu muncul dari balik gugusan bintang yang bersinar. “Siapa kau?” Tanya satu bintang yang memandangku penuh tanya. “Akulah bintang kedelapan”.

PUISI: Aku

Aku ingin menjadi siang, melenyapkan segala kegelapan, menghangatkan setiap jengkal tanah di permukaan. Aku ingin meniup semua debu jalanan, menghapus kegersangan dan kotoran.

Aku ingin melangkah, menapaki hari-hari dan menemukan ribuan pengalaman lalu terjun ke dasar samudera yang dalamnya tak terkira.

Aku mendamba kehidupan yang menggerakkan satu sama lain seperti uap panas yang terbentuk dari pembakaran; terpanggang, memerah, terbakar, menguap, lalu menyebar ke penjuru arah, menggerakkan setiap inchi roda gigi kehidupan.

Aku ingin bertualang, pergi ke tempat yang belum kusinggahi, bertemu orang asing, memandang mentari dari setiap sudut bumi. Aku ingin memanjat tebingan masalah, menaklukkannya dan kubawa pulang ke rumah sebagai cerita. Aku ingin berlari diatas kesedihan, melepaskan segala duka lara.

Aku ingin berteriak sekuatnya, mengeluarkan kata yang tertimbun dalam lubang perasaan.

Aku ingin terbang, meluncur bak roket perang, melanglang buana diatas awan, memandang setiap jengkal kota bersama langit biru. Aku ingin menjadi cahaya dalam gelap, penghapus segala ketakutan dan menjadi dalang bagi kisahku sendiri. Aku ingin hidup! Aku ingin hidup lebih lama lagi! 

Light it up!

When I was nine years old, I’m so enthusiastic anytime see the light, such as; fire, lamp, thunder, rumble. And last month, we played the fireworks.


For any of you who always enthusiastic like me, when see the light. You must be happy when you follow our activity last month. In the night, in one of small room at canteen. We prepared some fireworks, lighter. Opened the cover, share the fireworks two stick for each person. We standing up againts, we put the fireworks stick together, one of us begin to burn stick with lighter. The fireworks getting black, black, burned then splash the fire. Oooh, that’s what we wait!


The fireworks blowed many small fire make some patterns in the night, everyone happy, laugh, bouce while keeping the fireworks. It make me realized that everything in the world is unique, even a small fire that we know can burn and destroyed everything but when you played the fireworks you will feel not fear instead you are happy play it like me.


After played the fireworks, we grilled some corn and meat while enjoyed the night. Two hours we ate the grilled food, night sky rumbled hint the rain. “Maybe we should finished this activity guys, do clean and clear area, then go to bed“ said my friend. “Yes, Sure, but I should finished this grilled corn stick first, haha.. :D ” said Me.