Pages

Pesan yang (tak) tersampaikan

Jika kamu harus bertanya, maka tanyakanlah padaku perihal kenapa hingga saat ini saya masih bisa tertawa seolah tak pernah ada perpisahan antara kita. Tanyakanlah perihal kapan terakhir kali saya mengingatmu sebagai orang yang sangat saya rindukan. Atau kamu bisa menanyakan sesulit apa untuk melupakan seseorang yang namanya selalu terdengar di sudut telinga. Kamu boleh menanyakan apa saja tapi jangan tanyakan kenapa saya jatuh hati padamu. Saya tak punya jawabannya. Atau barangkali kamu sudah tahu jawabannya.

Kalau kamu adalah sebuah pembangkit listrik maka kamulah yang bisa mengalirkan banyak arus listrik lalu menyalakan jutaan lampu dalam hati saya. Saya tak akan takut kehilangan cahaya meski matahari telah terbenam, sebab aliran listrikmu menerangiku dalam gelap.

Kalau kamu adalah buku novel maka saya sudah hafal diluar kepala. Di halaman berapa kamu sedih, ceria atau tertawa. Paragraf-paragraf hidupmu sudah kubaca dengan amat teliti. Jejak-jejak kakimu yang timbul kala melangkah kuikuti perlahan, menyelaraskan dengan irama yang ada. Begitu pula dengan para tokoh di dalamnya. Mereka hadir menyemarakkan ceritamu, karakternya sudah saya pahami hingga saya seolah-olah mengenal mereka semua.

Kalau kamu adalah sebuah senja, maka senja merah yang biasa saya lihat di sudut mata itu bukanlah senja yang paling saya nantikan. Senja yang paling saya nantikan adalah senja yang dibawahnya berdiri seorang kamu yang penuh dengan rindu. Lalu wajahmu tersenyum padaku bercampur dengan cahaya merah, membuat sebuah siluet nan indah.

Kalau kamu adalah sebuah mug maka kamulah yang selalu setia menampung air kopi yang kuminum setiap hari. Hangatmu mengalir lewat gagang mug yang kupegang.

Tapi, kamu bukanlah pembangkit listrik juga bukan buku novel. Kamu juga bukan senja juga bukan mug. Kamu adalah kamu. Ya memang tak ada hubungannya antara pembangkit listrik, buku novel, senja dan mug. Saya hanya berandai-andai saja. Tulisan ini pun saya tulis ketika saya tak punya ide lain untuk menulis selain menulis tentang kamu.

Kemarin siang saat di kantin, saya menghabiskan sepotong bakpau tanpa sisa. Tiba-tiba saya ingat kamu. Saya masih ingat saja ucapanmu waktu itu tentang ‘bakpau pedas manis’. Tapi bakpau yang saya makan kemarin rasanya  tidak pedas tidak pula manis. Tapi saya masih percaya atas ucapanmu itu, mungkin saja nanti kamu bisa membuat resep masakan bakpau yang rasanya pedas manis.

Kadang saya berpikir, lama sebuah penantian mungkin tak ada apa-apanya dibanding rindu yang saya tabung setiap harinya. Mungkin saja, tabungan rindu saya akan bertambah banyak seiring berputarnya waktu lalu mengantarkan kita pada pertemuan yang tepat. Ketika itu pula tabungan itu akan kuberikan padamu sebagai hadiah yang indah.

Salahkan jarak dan waktu yang membuat rindu bertambah syahdu. Mungkin sebenarnya jarak kita sekarang amat dekat. Atau mungkin sudah teramat sangat dekat. Entah itu hati ataupun waktu. Saya tidak tahu. Maafkan saya yang hari ini tiba-tiba teringat dengan kamu. Sungguh ini semua diluar kehendak. Perasaan hati saya sedang dalam masa transisi, seperti arus listrik naik-turun yang kadang bisa merusak peralatan listrik rumah tangga. Semoga saya kuat menghadapinya.

Baiklah, itu saja yang hendak saya bicarakan kali ini. Tetaplah menjadi gadis yang cantik hatinya, elok perangai dan tentu saja baik akhlaknya. Jika suatu saat nanti kita bertemu (lagi) maka kamu tak akan pernah menemukan saya yang dulu. Sebab saya sudah mempersiapkan banyak bekal untuk menjemput pertemuan kita yang disana ada Pak Penghulu.

*Kepada seorang gadis nan jauh disana,  yang dulu pernah saling bertatap mata lalu kita berpisah demi kehormatan bersama.

0 comments:

Post a Comment